
Layar Lanskap merupakan program memorial permulaan Sewon Screening yang lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta, hingga terus bertahan sampai saat ini sebagai sebuah festival yang berfokus pada eksibisi dan apresiasi film. Program ini turut mengantar sebagai permulaan sebelum menu program utama yang akan dilaksanakan di bulan September. Dengan membawa semangat baru, Layar Lanskap memberikan energi positif bahwa sinema dapat hadir dengan bentuk yang sederhana dan dapat dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat tanpa adanya batasan tertentu. Diiringi dengan antusiasme untuk terus berjuang dalam setiap situasi yang dirasa akan menjadi sebuah bentuk relevansi bagi berbagai entitas yang terus eksis di dalam tatanan kehidupan. Program Layar Lanskap Yogyakarta ini sendiri berangkat dari pengalaman kami sebagai mahasiswa Film dan Televisi yang bertumbuh dan berbasis Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadikannya rumah serta ruang untuk berkarya dari titik awal dan selalu mengupayakan untuk senantiasa berdiri kokoh hingga sekarang. Pada akhirnya, muncullah sebuah gagasan untuk menghadirkan ruang pemutaran alternatif di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Catatan Program
Dinamika. Sebuah kata konklusif yang diciptakan berdasarkan observasi pendek ataupun panjang terhadap lanskap persistensi hidup manusia. Jika lanskap tersebut dibentangkan, kita dapat melihat dengan mata batin kita sendiri bahwa persistensi diwarnai oleh pasang-surut, terbang-berpijak, lari-letih, dan bahkan dalam banyak kasus.. Persistensi juga digerakkan oleh arus air yang tenang. Keteguhan hati, ketabahan merelakan, dan penolakan dalam diam yang luar biasa menggerakkan. Pada akhirnya, berbagai bentuk persistensi dalam lanskap tersebut menciptakan dinamika yang bernyawa.
Melalui film “Zuhud”, kita memulai perjalanan dalam lanskap dinamis ini dengan pasang-surut dua figur dengan kepribadian dan kepentingan yang bertolak belakang dalam mencapai satu tujuan yang sama. Namun, seperti halnya kehidupan yang tidak selalu berjalan sesuai dengan segelintir tujuan dan keinginan yang telah menjadi poros, “Pung Ra Rampung Nembung” mempersembahkan alternatif sajian yang mengeksplorasi keluwesan hati dalam momen-momen Sinoman. Berpindah dari perspektif sang penggerak acara yang sebelumnya ada pada Sinoman, “Bambang” menyegarkan kembali dengan obrolan berwajah hipermaskulin nan jenaka yang ditemani sebatang, dua batang rokok. Bak menu penutup lanskap yang berselancar dengan dinamikanya yang absolut, “Buruh Seni” mengantarkan pada kontemplasi panjang tentang bagaimana pasang-surut persistensi yang telah dilalui oleh aktivis hak-hak buruh, Marsinah, tetap kekal abadi bagaikan permainan estafet yang tak goyah dihalau waktu.