Di warung ayam Jakarta yang ramai, terjadi pertikaian soal potongan terakhir ayam berubah menjadi nyata. Suasana kios yang realistis menjadikan panggung menjadi tiga individu menjadi terlibat dalam pertempuran sengit.

Tiba-tiba, jalinan realitas terurai, dan mereka dibawa ke dunia penjara ekspresionis. Warna-warna cerah memudar, digantikan oleh palet hitam dan putih yang mencerminkan cermin kekacauan batin para karakter. Dalam lingkungan yang terdistorsi ini, dua dari mereka terlibat dalam aksi brutal bertarung sampai mati; gerakan mereka melambat. Secara mengejutkan, si pengecut itu menentang ekspektasi dengan bangkit dari bayang-bayang dan memberikan pukulan fatal hingga posisi terakhir lawan. Saat si pengecut menikmati momen kemenangan dengan potongan ayam terakhir, dunia di sekitar mereka menentang logika sekali lagi. Hujan ayam mulai turun, melampaui batas realitas. Di tengah hujan deras yang membingungkan, dua pengamen jalanan muncul, melodi mereka menghantui membawa pesan pedih tentang kebodohan manusia. Adegan tiba-tiba berubah, memindahkan para karakter kembali ke warung ayam yang sudah dikenalnya. Sangat kontras dengan latar yang realistis mengembalikan rasa normal, menempatkan mereka di dunia nyata. Dengan pertarungan yang tampaknya terlupakan, penjual warung ayam datang sambil membawa seember ayam segar.